BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (atau disingkat TN Babul) terletak di Sulawesi
Selatan, seluas ± 43.750 Ha. Secara administrasi
pemerintahan, kawasan taman nasional ini terletak di wilayah Kabupaten
Maros dan Kabupaten Pangkajene
Kepulauan (Pangkep). Secara geografis areal ini terletak
antara 119° 34’ 17” – 119° 55’ 13” Bujur Timur dan antara 4° 42’ 49” – 5° 06’
42” Lintang Selatan. Secara kewilayahan, batas-batas TN Babul adalah sebagai
berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru dan
Bone, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memiliki
berbagai keunikan, yaitu: kars, goa-goa dengan stalaknit yang indah, dan yang
paling dikenal adalah kupu-kupu yang menjadikan Bantimurung dikenal sebagai
kawasan The Kingdom of Butterfly (kerajaan kupu-kupu). Taman Nasional ini
merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang menyuguhkan wisata alam berupa
lembah bukit kapur yang curam dengan vegetasi tropis, air terjun, dan gua yang
merupakan habitat beragam spesies kupu-kupu.
Taman Nasional ini memang menonjolkan kupu-kupu
sebagai daya tarik utamanya. Di tempat ini sedikitnya ada 20 jenis kupu-kupu
yang dilindungi pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No.
7/1999. Beberapa spesies unik bahkan hanya terdapat di Sulawesi
Selatan, yaitu Troides Helena Linne, Troides
Hypolitus Cramer, Troides Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius,
dan Cethosia Myrana. Antara tahun 1856-1857, Alfred Russel Wallace
menghabiskan sebagian hidupnya di kawasan tersebut untuk meneliti berbagai
jenis kupu-kupu. Wallace menyatakan Bantimurung merupakan The Kingdom of
Butterfly (kerajaan kupu-kupu). Menurutnya di lokasi tersebut terdapat
sedikitnya 150 spesies kupu-kupu.
Lokasi wisata ini juga memeliki dua buah gua yang
bisa dimanfaatkan sebagai wisata minat khusus. Kedua gua itu adalah Gua Batu
dan Gua Mimpi. Maka dari itu kawasan ini sangat baik untuk dijadikan kawasan
penelitian tentang jenis-jenis hewan yang berada di dalamnya baik hewan-hewan
invertebrata maupun hewan vertebrata.
B. Tujuan
Praktikum
1. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melatih
mahasiswa menyelidiki keragaman komunitas suatu ekosistem tertentu melalui
indeks keragaman, indeks dominansi dan indeks kemerataan.
2. Untuk melatih mahasiswa agar dapat terbiasa dalam
meneliti di alam bebas.
C. Manfaat Praktikum
Mahasiswa dapat mengetahui berbagai keragaman
komunitas hewan-hewan yang terdapat di dalam hutan baik yang tergolong invertebrata
maupun vertebrata.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Keanekaragaman
(Indeks Diversitas)
Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang
memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada di dalamnya.
Untuk memperoleh keanekaragaman jenis cukup diperlukan kemampuan mengenal atau
membedakan jenis meskipun tidak dapat mengidentifikasi jenis hama (Krebs,
1978).
Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk
menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies
terdiri dari jumlah spesies dalam komunitas (kekayaan spesies) dan kesamaan
spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah
individu, biomassa, penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies itu.
Contohnya, pada suatu komunitas terdiri dari 10% spesies, jika 90% adalah 1
spesies dan 10% adalah 9 jenis yang tersebar, kesamaan disebut rendah.
Sebaliknya jika masing-masing spesies jumlahnya 10%, kesamaannya maksimum.
Beberapa tahun kemudian muncul penggolongan indeks atas indeks kekayaan dan
indeks kesamaan. Setelah itu digabungkan menjadi Indeks Keanekaragaman dengan
variabel yang menggolongkan struktur komunitas seperti jumlah spesies,
kelimpahan relarif spesies (kesamaan), homogenitas dan ukuran dari area sampel
(Anonim, 2008).
Keragaman hayati merupakan variabilitas antar makhluk
hidup dari semua sumber daya, termasuk di daratan, ekosistem perairan dan
kompleks ekologis termasuk juga keanekaragaman dalam spesies di antara spesies
dan ekosistemnya. Sepuluh persen dari ekosistem alam berupa suaka alam, suaka
marga satwa, taman nasional, hutan lindung dan sebagian lagi untuk kepentingan
budi daya plasma nutfah yang dialokasikan sebagai kawasan yang dapat memberi
perlindungan bagi keanekaragaman hayati (Arief, 2001).
Jasa-jasa ekologis yang diemban oleh keanekaragaman
hayati pertanian, diantaranya jasa penyerbukan, jasa penguraian, dan jasa
pengendali hayati (predator, parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama,
sangatlah penting bagi pertanian berkelanjutan. Dengan adanya kemajuan
pertanian modern, prinsip ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan,
akibatnya agroekosistem menjadi tidak stabil. Perusakan-perusakan tersebut
menimbulkan munculnya hama secara berulang dalam sistem pertanian, salinisasi,
erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya (Emden and
Dabrowski, 1997).
B. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Indeks Keanekaragaman
Dalam ekosistem alami semua makhluk hidup berada
dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di
ekosistem alamiah keragaman jenis sangat tinggi yang berarti dalam setiap
kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman
yang beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Oka, 1995).
Menurut Krebs (1978), ada 6 faktor yang saling
berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
1. Waktu,
keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah
lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada komunitas muda yang
belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya
sampai puluhan generasi.
2. Heterogenitas
ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas
flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.
3. Kompetisi,
terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang
ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun memanfaatkan
sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
4. Pemangsaan,
untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan yang berbeda di
bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar kemunginan hidup
berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari
pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
5. Kestabilan
iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu lingkungan keberlangsungan
evolusi.
6. Produktifitas,
juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk
menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman
spesies sangatlah penting dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan
terhadap sistem alam akibat turut campur tangan manusia (Michael, 1995).
Hambatan lingkungan merupakan faktor biotik dan
abiotik di ekosistem yang cenderung menurunkan fertilitas dan kelangsungan
hidup individu-individu persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme tersebut.
Lingkungan yang stabil, lebih dalam populasi organisme. Faktor tersebut
menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi
biotiknya. Faktor-faktor lingkungan tersebut ada dua yaitu faktor yang berasal
dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti
makanan, predasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan
faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan
intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Untung, 1996).
Keanekaragaman tanaman merupakan faktor yang
mempengaruhi tingginya keanekaragaman individu-individu yang ada di dalamnya,
semakin tinggi keragaman ekosistem dan semakin lama keragaman ini tidak
diganggu oleh manusia, semakin banyak pula interaksi internal yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan stabilitas serangga. Hasil studi interaksi
tanaman gulma serangga diperoleh bahwa gulma mempengaruhi keragaman dan
keberadaan serangga herbivora dan musuh-musuh alaminya dalam sistem pertanian.
Bunga gulma tertentu memegang peranan penting sebagai sumber pakan parasitoid
dewasa yang dapat menekan populasi serangga hama (Altieri, 1999).
BAB
III
METODOLOGI
PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1.
Alat
·
Plot berukuran 1
x 1 meter
·
Jaring perangkap
serangga
·
Lup
·
Stopwatch
2.
Bahan
·
Semua jenis
hewan yang terdapat di lokasi percobaan
B. Prosedur Kerja
1.
Menyediakan plot
berukuran 1 x 1 meter
2.
Meletakkan plot
tersebut pada lokasi tempat pengamatan secara acak, lalu membiarkan selama 4
menit.
3.
Menangkap jenis
serangga yang terbang dengan menggunakan jaring dan menghitung yang ada di permukaan
tanah yang terdapat di dalam plot tersebut.
4.
Mengulangi
percobaan tersebut sebanyak 7 kali
5.
Mencatat seluruh
hasil pengamatan pada tabel pengamatan
6.
Membuat laporan
hasil percobaan
C. Waktu
Dan Lokasi Kegiatan
Praktikum lapang mata kuliah Ekologi Hewan ini
dilakukan pada tanggal 8 Desember 2011 di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Tabel
1: Hasil Pengamatan
Plot 1
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Luing
|
5
|
Hidup
|
2
|
Lipan
(Scolopedra subspinipes)
|
1
|
Hidup
|
3
|
Semut
Hitam kecil
|
80
|
Hidup
|
4
|
Rayap
Tanah (Makrotermes gulvus)
|
10
|
Hidup
|
Plot 2
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Semut
Hitam Besar
|
35
|
Hidup
|
2
|
Luing
|
1
|
Hidup
|
3
|
Laba-laba
Kecil (Arachnida)
|
1
|
Hidup
|
Plot 3
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Nyamuk
(Anipheles sp.)
|
20
|
Hidup
|
2
|
Semut
Hitam Kecil
|
40
|
Hidup
|
3
|
Laba-laba
Kecil (Arachnida)
|
1
|
Hidup
|
4
|
Spesies
A
|
1
|
Hidup
|
Plot 4
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Luing
|
2
|
Hidup
|
2
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
1
|
Hidup
|
Plot 5
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
2
|
Hidup
|
2
|
Semut
Hitam Kecil
|
20
|
Hidup
|
Plot 6
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Semut
Hitam Kecil
|
80
|
Hidup
|
2
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
1
|
Hidup
|
Plot 7
|
|||
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Luing
|
2
|
Hidup
|
2
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
2
|
Hidup
|
Tabel 2:
Rekapitulasi Jumlah pada Spesies Setiap Plot
No
|
Spesies
|
Jumlah
|
Rata-rata
|
Keterangan
|
1
|
Luing
|
5
|
5/7 = 0,72
|
|
2
|
Lipan
(Scolopedra subspinipes)
|
1
|
1/7 = 0,14
|
|
3
|
Semut Hitam Kecil
|
220
|
220/7 = 31,5
|
|
4
|
Semut Hitam Besar
|
35
|
35/7 = 5
|
|
5
|
Rayap
Tanah (Makrotermes gulvus)
|
10
|
10/7 = 1,43
|
|
6
|
Laba-laba
Kecil (Arachnida)
|
2
|
2/7 = 0,29
|
|
7
|
Nyamuk
(Anopheles sp.)
|
20
|
20/7 = 2,86
|
|
8
|
Spesies
A
|
1
|
1/7 = 0,14
|
|
9
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
6
|
6/7 =0,86
|
|
Rumus Analisis
Data
Tabel 3: Analisis Data
No
|
Nama
Spesies
|
Jumlah
|
K
|
KR
|
Fr
|
NP
|
1
|
Luing
|
5
|
5/1 = 5
|
5/300X100%= 1,7%
|
5/7 = 0,72
|
2,42
|
2
|
Lipan
(Scolopedra subspinipes)
|
1
|
1/1 = 1
|
1/300X100%= 0,3%
|
1/7 = 0,14
|
0,44
|
3
|
Semut Hitam Kecil
|
220
|
220/1 = 220
|
220/300X100%= 73%
|
220/7 = 31,5
|
104,5
|
4
|
Semut Hitam Besar
|
35
|
35/1 = 35
|
35/300X100%= 12%
|
35/7 = 5
|
17
|
5
|
Rayap
Tanah (Makrotermes gulvus)
|
10
|
10/1 = 10
|
10/300X100%= 3,3%
|
10/7 = 1,43
|
4,73
|
6
|
Laba-laba
Kecil (Arachnida)
|
2
|
2/1 = 2
|
2/300X100%= 0,7%
|
2/7 = 0,29
|
0,36
|
7
|
Nyamuk
(Anopheles sp.)
|
20
|
20/1 = 20
|
20/300X100%= 7%
|
20/7 = 2,86
|
9,86
|
8
|
Spesies
A
|
1
|
1/1 = 1
|
1/300X100%= 0,3%
|
1/7 = 0,14
|
0,17
|
9
|
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
|
6
|
6/1 = 6
|
6/300X100%= 2%
|
6/7 = 0,86
|
2,86
|
B.
Pembahasan
Praktikum keragaman komunitas di Taman Nasional
Bantimurung di peroleh data yang beragam dari 7 plot yang diletakkan secara
acak di lokasi praktikum. Data pada plot pertama yaitu diperoleh Luing sebanyak
5 individu, Lipan (Scolopedra subspinipes)
1 individu, Semut Hitam kecil sebanyak 80 individu, dan Rayap Tanah (Makrotermes gulvus) sebanyak 10 individu
yang semuanya hidup. Data pada plot kedua yaitu diperoleh Semut Hitam Besar
sebanyak 35 individu, Luing 1 individu, dan Laba-laba Kecil (Arachnida) 1
individu. Data pada plot ketiga yaitu diperoleh Nyamuk (Anopheles sp.) sebanyak 20 individu, Semut Hitam Kecil sebanyak 40
individu, Laba-laba Kecil (Arachnida) 1 individu, dan Spesies A 1 individu.
Data pada plot keempat yaitu diperoleh Luing sebanyak 2 individu, dan Kupu-kupu
(Papilio sp.) 1 individu. Data pada
plot kelima yaitu diperoleh Kupu-kupu (Papilio
sp.) sebanyak 2 individu, dan Semut Hitam Kecil sebanyak 20 individu. Data pada
plot keenam yaitu diperoleh Semut Hitam Kecil sebanyak 80 individu, dan Kupu-kupu
(Papilio sp.) 1 individu. Data pada
plot ketujuh yaitu diperoleh Luing sebanyak 2 individu, dan Kupu-kupu (Papilio sp.) sebanyak 2 spesies.
Rekapitulasi jumlah spesies pada setiap plot yaitu
diperoleh jumlah rata-rata setiap individu yang didapat. Jumlah keseluruhan
Luing yang diperoleh yaitu 5 individu, jumlah keseluruhan Lipan (Scolopedra subspinipes) yaitu 1
individu, jumlah keseluruhan Semut Hitam Kecil yaitu 220 individu, jumlah
keseluruhan Semut Hitam Besar yaitu 35 individu, jumlah keseluruhan Rayap Tanah
(Makrotermes gulvus) yaitu 10
individu, jumlah keseluruhan Laba-laba Kecil (Arachnida) yaitu 2 individu,
jumlah keseluruhan Nyamuk (Anopheles
sp.) yaitu 20 individu, jumlah keseluruhan Spesies A yaitu 1 individu, dan
jumlah keseluruhan Kupu-kupu (Papilio
sp.) yaitu 6 individu.
Analisis data yang dilakukan pada data yang
diperoleh bertujuan untuk mencari kerapatan dari spesies, kerapatan relatif,
frekuensi, dan nilai penting dari setiap spesies yang diperoleh. Pada Luing
nilai kerapatannya 5, nilai kerapatan relatif 1,7%, nilai frekuensi 0,72, dan
nilai pentingnya yaitu 2,42. Pada Lipan (Scolopedra
subspinipes) nilai kerapatannya 1, nilai kerapatan relatif 0,3%, nilai
frekuensi 0,14, dan nilai pentingnya yaitu 0,44. Pada Semut Hitam Kecil nilai
kerapatannya 220, nilai kerapatan relatif 73%, nilai frekuensi 31,5, dan nilai
pentingnya yaitu 104,5. Pada Semut Hitam Besar nilai kerapatannya 35, nilai
kerapatan relatif 12%, nilai frekuensi 5, dan nilai pentingnya yaitu 17. Pada Rayap
Tanah (Makrotermes gulvus) nilai
kerapatannya 10, nilai kerapatan relatif 3,3%, nilai frekuensi 1,43, dan nilai
pentingnya yaitu 4,73. Pada Laba-Laba Kecil (Arachnida) nilai kerapatannya 2,
nilai kerapatan relatif 0,7%, nilai frekuensi 0,29, dan nilai pentingnya yaitu
0,36. Pada Nyamuk (Anopheles sp.)
nilai kerapatannya 20, nilai kerapatan relatif 7%, nilai frekuensi 2,86, dan
nilai pentingnya yaitu 9,86. Pada Spesies A nilai kerapatannya 1, nilai
kerapatan relatif 0,3%, nilai frekuensi 0,14, dan nilai pentingnya yaitu 0,17.
Pada Kupu-kupu (Papilio sp.) nilai kerapatannya
6, nilai kerapatan relatif 2%, nilai frekuensi 0,86, dan nilai pentingnya yaitu
2,86.
Dari hasil analisis data diperoleh nilai penting
dari masing-masing spesies. Nilai penting yang tertinggi 104,5 pada Semut hitam
kecil dan nilai penting terendah 0,17 pada Spesies A. Jadi keragaman komunitas
tertinggi di Taman Nasional Bantimurung dari hasil praktikum yaitu Semut hitam
kecil.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jenis-jenis spesies yang diperoleh dari praktikum di
Taman Nasional Bantimurung yaitu Luing, Lipan (Scolopedra subspinipes), Semut
Hitam Kecil, Semut Hitam Besar, Rayap Tanah (Makrotermes gulvus), Laba-laba
Kecil (Arachnida), Nyamuk (Anopheles
sp.), Spesies A, dan Kupu-kupu (Papilio
sp.) yang terdapat di tujuh plot yang diletakkan secara acak di lokasi
praktikum.
Nilai keragaman komunitas tertinggi yang diperoleh
yaitu Semut hitam kecil dengan nilai penting 104,5 dan keragaman komunitas
terendah yang diperoleh yaitu Spesies A dengan nilai penting 0,17.
B. Saran
1. Mahasiswa
yang ingin melakukan penelitian semacam ini diharapkan agar meneliti spesies
yang lebih beragam.
2. Hewan
yang diperoleh dari praktikum sebaiknya dilepas kembali setelah data telah
diambil.
3. Mahasiswa
harus lebih serius dalam melakukan praktikum agar data yang diperoleh lebih
akurat dan tidak dimanipulasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Bantimurung Objek Wisata Terbaik Di Sulawesi Selatan. 2011. http: //www. pustakasekolah. com/bantimurung-objek-wisata-terbaik-di-sulawesi-selatan.
html/ feed. Diakses pada tanggal 14
Desember 2011 17:04:38.
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2011. http:// www. detiknusantara. com/
index. php?option=com_content&view=article&id=1947:
mengunjungi-taman-nasional-bantimurung-maros&catid=40: sulsel&Itemid=90. Diakses pada tanggal 12 Desember
2011 19:44:08.
Taman
Nasional Bantimurung Surga Kupu-kupu di Maros. 2011. http:
//travel .kompas. com/ read/ xml/ 2009/ 11/ 30/ 11080746/ surga. kupu-kupu. di.
maros. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011 19:44:56.
Wisata
Bantimurung di Sulawesi Selatan.2011. http://ucha-weblog.com.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2011 17:05:40.
LAMPIRAN
Luing Hitam Laba-laba
Kecil (Arachnida)
Kupu-kupu
(Papilio sp.)
Spesies A Lipan
(Scolopedra subspinipes)
Laba-laba
Kecil (Arachnida) Semut Hitam Besar
Arachnida Luing
Merah
Suasana
Praktikum
Kelompok
6